NILAI DAN NORMA
(OLEH: KHAIRIAH ATA)
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam pergaulan sehari-hari sebagai masyarakat yang berbudaya, maka kita harus mengenal aturan, norma-norma atau nilai-nilai yang perlu atau penting diperhatikan. Pada masyarakat yang maju, berkembang dalam berbagai bidang, perhatian terhadap aturan, norma-norma dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat perlu ditingkatkan, agar masyarakat di manapun di bumi Indonesia tercinta ini tidak akan terbawa arus globalisasi pergaulan manusia yang kadang-kadang berdampak negatif. Untuk itu dalam pergaulan manusia yang berbudaya, beragama, yang ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan tidak menyinggung perasaan orang lain, penting mengenal dan mengimplementasikan etika pergaulan (Riyanto, 2002).
Nilai dan norma dalam masyarakat sudah ada sejak dahulu hingga kini. Nilai dan norma yang baik tentu melalui proses pembiasaan yang baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan prilaku yang baik. Namun pada kenyataannya sekarang, nilai dan norma yang buruk (misalnya merokok, minum minuman keras) sudah dianggap baik oleh kebanyakan masyarakat. Hal ini ada hubungannya dengan dunia pendidikan baik yang diperoleh di rumah, di sekolah, maupun di lingkungannya.
Dan perilaku yang dibenarkan bukan berarti seluruhnya berada pada ketentuan nilai yang baik. Tetapi sebagai seorang pendidik, kita tidak mampu mengubah perilaku peserta didik ke arah nilai yang baik, tanpa memberi contoh atau suri tauladan bagi peserta didik. Kita berharap dengan pendidikan dapat mengubah perilaku peserta didik menjadi perilaku insan yang pancasilais, sopan, dan santun dalam kehidupan bermasyarakat. Pemberian teladan oleh guru sebenarnya tidak cukup untuk mengubah nilai buruk menjadi nilai baik. Tetapi dibutuhkan kerja sama yang solid (bahu membahu) dari berbagai pihak termasuk lembaga pendidika, keluarga di rumah, dan lingkungan masyarakat yang baik sehingga dapat melahirkan generasi-generasi muda yang memiliki nilai dan norma yang baik. Mari kita memotivasi diri dengan mengingat kata bijak "Siapa yang memberi kebaikan maka kebaikan akan kembali pada dirinya". Semoga kita, keluarga dan bangsa indonesia menjadi pencinta nilai dan norma yang baik sesuai ajaran agama kita masing-masing untuk dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang nilai dan norma yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan hubungannya dengan etika.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasahan : Apa saja nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Biologi dan Bioetika dan mempresentasikannya dalam diskusi kelas.
2. Memahami nilai dan norma yang ada di dalam lingkungan masyarakat.
Manfaat Penulisan Makalah
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Sebagai bahan informasi bagi penulis tentang nilai dan norma yang ada di dalam lingkungan masyarakat.
2. Sebagai bahan informasi tambahan dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan Biologi dan Bioetika.
BAB II
NORMA DAN NILAI
Norma
Istilah norma, kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan sebenarnya merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Satu dan lainnya mempunyai hubungan sebab akibat yang dapat melahirkan hasil atau produk bermanfaat dan dapat berlaku secara efektif dalam kehidupan masyarakat, bahkan dapat diterima sebagai hukum untuk mengatur praktik penyelenggaraan negara.
Pengertian Norma
Kata “norma” berasal dari bahasa Latin yang konon memiliki arti pertama adalah carpenter’s square: siku-siku yang dipakai tukang kayu untuk mencek apakah benda yang dikerjakannya (meja, bangku, kursi, dan sebagainya) sungguh-sungguh lurus. Asal usul ini membantu kita untuk mengerti maksudnya. Dengan norma kita maksudkan aturan atau kaidah yang kita pakai sebagai tolok ukur untuk menilai sesuatu (Bertens, 2007: 147).
Kebiasaan adalah perbuatan yang sama, yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus dalam waktu yang relatif lama sehingga menjadi bagian dari budaya masyarakat dalam suatu daerah. Adat istiadat ialah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola prilaku masyarakat. Adat istiadat ini merupakan kebiasaan yang telah menjadi tradisi (budaya) secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang lain, memiliki kekuatan sebagai aturan, baik secara moral maupun social, serta dapat dibuktikan kebaikannya dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan peraturan adalah ketentuan yang sengaja dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk menciptakan ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat sehingga dapat mendukung terwujudnya cita-cita dan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan hubungan norma dengan kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan, maka norma dapat diartikan sebagai suatu aturan, kaidah, pedoman, atau petunjuk hidup, yang lahir dari suatu kebiasaan, yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di daerah tertentu dan diterima sebagai pedoman untuk dipatuhi dan ditaati dalam kehidupannya. Sehingga untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib perlu adanya norma (Wiyono, 2007: 3).
Masyarakat yang menginginkan hidup aman, tentram dan damai tanpa gangguan, maka bagi tiap manusia perlu adanya suatu “tata”. Tata itu berwujud aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Tata itu lazim disebut kaidah (berasal dari bahasa Arab) atau norma (berasal dari bahasa Latin) atau ukuran-ukuran. Norma-norma itu mempunyai dua macam isi, dan menurut isinya berwujud: perintah dan larangan. Apakah yang dimaksud perintah dan larangan menurut isi norma tersebut? Perintah merupakan kewajiban bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik. Sedangkan larangan merupakan kewajiban bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik (http://ekowinarto.files.wordpress.com/2009/03/bab-11.pdf).
Norma adalah aturan yang berlaku di kehidupan bermasyarakat. Aturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan sentosa. Namun masih ada segelintir orang yang masih melanggar norma-norma dalam masyarakat, itu dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pendidikan, ekonomi dan lain-lain (http://organisasi.org/pengertian-macam-jenis-norma-agama-kesusilaan-kesopanan-kebiasaan-hukum).
Menurut penulis, norma merupakan suatu aturan yang melekat pada suatu komunitas masyarakat yang dijunjung tinggi serta memiliki kadar nilai tertentu yang disebut dengan nilai normatif.
Macam Norma
Ada bermacam-macam norma yang berlaku di masyarakat. Menurut resmi tidaknya, keseluruhan norma kelakuan hidup masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Norma tidak resmi (informal), ialah norma yang patokannya sadar maupun tidak sadar terhadap anggotanya. Tata kelakuan, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan, sedangkan di lain pihak merupakan larangan sehingga secara langsung menjadi alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan individu. Misalnya, larangan perkawinan yang terlalu dekat hubungan darah (incest).
2. Norma resmi (formal), ialah norma yang patokannya dirumuskan dan diwajibkan dengan jelas dan tegas oleh pihak yang berwenang kepada semua warga masyarakat. Keseluruhan norma formal ini merupakan suatu tubuh hukum yang dimiliki oleh masyarakat modern, sebagian dari patokan resmi dijabarkan dalam suatu kompleks peraturan hukum (law). Masyarakat adat diubah menjadi masyarakat hukum. Patokan resmi dapat dijumpai, antara lain dalam perundang-undangan, keputusan, dan peraturan.
Macam-macam norma yang telah dikenal luas ada empat (berdasarkan kekuatan sanksinya), yaitu:
1. Norma Agama, ialah peraturan hidup yang harus diterima manusia sebagai perintah-perintah, larangan-larangan dan ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Pelanggaran terhadap norma ini akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Esa berupa “siksa” kelak di akhirat.
Contoh norma agama ini di antaranya ialah:
a) “Kamu dilarang membunuh”.
b) “Kamu dilarang mencuri”.
c) “Kamu harus patuh kepada orang tua”.
d) “Kamu harus beribadah”.
e) “Kamu jangan menipu”.
2. Norma Kesusilaan, ialah peraturan hidup yang berasal dari suara hati nurani manusia. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia.
Contoh norma ini di antaranya ialah :
a) “Kamu tidak boleh mencuri milik orang lain”.
b) “Kamu harus berlaku jujur”.
c) “Kamu harus berbuat baik terhadap sesama manusia”.
d) “Kamu dilarang membunuh sesama manusia”.
3. Norma Kesopanan, ialah norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri. Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian.
Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain, terutama wanita yang tua, hamil atau membawa bayi”.
b) “Jangan makan sambil berbicara”.
c) “Janganlah meludah di lantai atau di sembarang tempat”.
d) “Orang muda harus menghormati orang yang lebih tua”.
4. Norma Hukum, ialah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundangundangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama. Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar, yaitu kekuasaan negara. Hukum biasanya dituangkan dalam bentuk peraturan yang tertulis, atau disebut juga perundang-undangan. Perundang-undangan baik yang sifatnya nasional maupun peraturan daerah dibuat oleh lembaga formal yang diberi kewenangan untuk membuatnya. Oleh karena itu,norma hukum sangat mengikat bagi warga negara.
Contoh norma ini diantaranya ialah :
a) “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa/ nyawa orang lain, dihukum karena membunuh dengan hukuman setingi-tingginya 15 tahun”.
b) “Orang yang ingkar janji suatu perikatan yang telah diadakan, diwajibkan mengganti kerugian”, misalnya jual beli.
c) “Dilarang mengganggu ketertiban umum”.
Ada satu lagi norma yang jarang dibahas dalam literatur yaitu norma kebiasaan, merupakan norma yang keberadaannya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah. Norma kebiasaan adalah sekumpulan peraturan sosial yang berisi petunjuk atau peraturan yang dibuat secara sadar atau tidak tentang perilaku yang diulang-ulang sehingga perilaku tersebut menjadi kebiasaan individu. Pelanggaran terhadap norma ini berakibat celaan, kritik, sampai pengucilan secara batin. Contohnya membawa oleh-oleh apabila pulang dari suatu tempat, bersalaman ketika bertemu (http://ahmadfauzanisw.wordpress.com/2010/12/04/norma).
Nilai
Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Aliran ini mengaitkan masalah nilai dengan semua aspek peri kehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan.
Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari: (1) apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subyek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari (2) sikap subyek tersebut. Untuk hal yang pertama, menunjukkan bahwa nilai mempunyai pembawaan atas dasar komposisi yang ada. Misalnya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dari komponen-komponen yang ada, contohnya, temperamen warna biru dan putih akan sesuai dengan warna kuning atau putih, yang berwarna biru dan putih aka cocok jika dipakai oleh orang yang warna kulitnya kuning atau putih. Sedangkan untuk hal yang kedua, dapat dinyatakan bahwa sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga memiliki hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Contohnya, orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lainnya yang membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal dan teratur, untuk ini, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan itu dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
George Santayana memadukan dua hal tersebut di atas dalam satu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu.
Teori yang lain yang timbul dari realisme disebut determinisme etis. Dikatakan bahwa semua yang ada di alam semesta ini, termasuk manusia, mempunyai hubungan hingga merupakan rantai sebab akibat. Analog dengan keadaan ini dan hal-hal yang berlangsung pada masa lampau, terutama yang berhubungan dengan manusia, dapat memberikan pengaruh terhadap baik buruknya manusia tersebut. Selain yang sudah lampau, dengan sendirinya juga keadaan dan hal-hal yang tercermin pada waktu sekarang. Demikian pula bagaimana orang tersebut pada masa yang akan datang, sebagian akan tergantung dari rangkaian sebab akibat yang berkembang dari sekarang sampai dengan waktu yang akan datang tersebut.
Dapatlah dikatakan bahwa mengenai masalah baik buruk khususnya dan keadaan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan atas keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai sebab akibat adanya saling hubungan antara pembawaan-pembawaan fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Misalnya, soal perang, perang selalu mungkin karena adanya kenyataan bahwa manusia itu mempunyai insting kekejaman, maka agar dapat dicegah timbulnya peperangan di dunia, salah satu usaha yang diperlukan adalah adanya pendidikan ke arah perdamaian.
Menurut pandangan idealisme, nilai itu absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik, atau tidak cantik, secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Pada hakikatnya nilai itu tetap. Nilai tidak diciptakan manusia, melainkan merupakan bagian dari alam semesta.
Plato mengemukakan bahwa kehidupan yang baik hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang baik dan ideal yang diperintah oleh “The Philopher Kings”, yaitu kaum intelektual, para ilmuwan atau cendekiawan. Dia juga mengemukakan bahwa jika manusia tahu apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, mereka tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan moral. Kejahatan terjadi karena orang tidak tahu bahwa perbuatan tersebut jahat. Jika seseorang menemukan sesuatu yang benar, maka orang tersebut akan berbuat salah. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana hal itu dapat dilakukan jika manusia memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam pikirannya tentang hidup yang baik (Sadulloh, 1994) (http://defaultride.wordpress.com/2010/06/12/pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme/).
Plato mengemukakan bahwa kehidupan yang baik hanya mungkin terjadi dalam masyarakat yang baik dan ideal yang diperintah oleh “The Philopher Kings”, yaitu kaum intelektual, para ilmuwan atau cendekiawan. Dia juga mengemukakan bahwa jika manusia tahu apa yang dikatakannya sebagai hidup baik, mereka tidak akan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan moral. Kejahatan terjadi karena orang tidak tahu bahwa perbuatan tersebut jahat. Jika seseorang menemukan sesuatu yang benar, maka orang tersebut akan berbuat salah. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana hal itu dapat dilakukan jika manusia memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam pikirannya tentang hidup yang baik (Sadulloh, 1994) (http://defaultride.wordpress.com/2010/06/12/pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme/).
Pengertian Nilai
Definisi nilai sering dirumuskan dalam konsep yang berbeda-beda. Seperti dinyatakan sosiolog Kurt Baier. Ia menafsirkan nilai dari sudut pandangnya sendiri tentang keinginan, kebutuhan, kesenangan seseorang sampai pada sanksi dan tekanan dan masyarakat. Seorang psikolog menafsirkan nilai sebagai suatu kecenderungan perilaku yang berawal dan gejala-gejala psikologis, seperti hasrat, motif, sikap, kebutuhan, dan keyakinan yang dimiliki secara individual sampai pada wujud tingkah lakunya yang unik. Seorang antropolog melihat nilai sebagai “harga” yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan hukum dan bentuk-bentuk organisasi sosial yang dikembangkan manusia. Lain lagi dengan seorang ekonom yang melihat nilai sebagai “harga” suatu produk dan pelayanan yang dapat diandalkan untuk kesejahteraan manusia. Perbedaan cara pandang mereka dalam memahami nilai telah berimplikasi pada perumusan definisi nilai.
Gordon Allport (1964), seorang ahli psikologi kepribadian, menyatakan bahwa “Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya”. Bagi Allport, nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Seperti ahli psikolo pada umumnya, keyakinan ditempatkan sebagai wilayah psikologi yang lebih tinggi dan wilayah lainnya seperti hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan. Karena itu, keputusan benar-salah, baik buruk, indah-tidak indah pada wilayah ini merupakan hasil dan serentetan proses psikologis yang kemudian mengarahkan individu pada tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan nilai pilihannya.
Menurut Kupperman (1983), “Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif”. Definisi ini memiliki tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Seperti sosiolog pada umumnya, Kupperman memandang norma sebagai salah satu bagian terpenting dan kehidupan sosial, sebab dengan penegakan norma seseorang justru dapat merasa tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat yang akan merugikan dirinya. Oleh sebab itu, salah satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan nilai (value judgment) adalah pelibatan nilai-nilai normatif yang berlaku di rnasyarakat.
Nilai merupakan sesuatu yang baik dan menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan. Menurut filsuf Jerman-Amerika, Hans Jonas, mengatakan bahwa nilai adalah “the addressee of a yes”, yang berarti sesuatu yang ditujukan dengan “ya”. Hal ini berarti nilai selalu mempunyai konotasi positif sehingga disebut nilai positif. Sebaliknya, sesuatu yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita menghindar, ataupun suatu hal yang berdampak tidak baik disebut nilai negative (Bertens, 2007: 139).
Secara sederhana, penulis mengartikan nilai sebagai suatu ukuran tertentu yang digunakan manusia untuk menyatakan penghargaan terhadap suatu obyek, baik yang bersifat konkrit maupun abstrak yang berupa perbuatan, prilaku, ataupun benda.
Nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut ini:
1. Nilai berkaitan dengan subyek dan obyek. Kalau tidak subyek yang menilai, maka tidak ada nilai juga. Begitu juga, jika tidak ada obyek, maka tidak ada yang mau dinilai. Entah manusia hadir atau tidak, gunung merapi akan tetap meletus. Tapi untuk dapat dinilai sebagai “indah” atau “merugikan”, letusan gunung itu memerlukan kehadiran subyek yang menilai.
2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis, di mana subyek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai (hanya menjadi pertanyaan apakah suatu pendekatan yang secara murni teoritis bia diwujudkan)
3. Nilai-nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh obyek pada dirinya. Rupanya hal itu harus dikatakan karena obyek yang sama bagi pelbagai subyek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda pula.
Macam Nilai
Pada dasarnya, dalam kerangka filsafat, nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1. Nilai etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang artinya adat kebiasaan. Dalam istilah lain para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutnya dengan “moral”. Menurut Langeveld, etika adalah teori perbuatan manusia, yaitu ditimbang menurut baik dan buruknya. Selanjutnya Dagobert Runes, mengemukakan : Ethies is that or discipline which concerns it self with judgments of approval or disapproval, judgments as to the rightess or wrongness, goodness or badness, virtue or vice, desirability or wisdom of action, ends, ob objects or state of affairs. Jadi, etika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan memandangnya dari sudut baik dan tidak baik. Etika merupakan filsafat tentang prilaku manusia. Penilaian baik dan buruk itu terletak pada perbuatan manusia, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang dilakukan secara aktif maupun secara pasif, berguna maupun tidak berguna, penting maupun tidak penting; pada hakikatnya dapat dinilai baik atau tidak baik. Akan tetapi karena perbuatan itu dibatasi oleh kondisi normatif, maka perbuatan-perbuatan tersebut harus memenuhi dua factor yaitu : (a) harus disadari, dilakukan dengan kesengajaan; dan (b) perbuatan tersebut harus dilakukan atas dasar kebebasan bagi yang melakukannya.
2. Nilai estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni, kadang-kadang prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Tetapi sesungguhnya konsep keindahan hanya salah satu saja dari sejumlah konsep dalam filsafat seni (Randall, 1942). Selanjutnya Randall mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni, yaitu: (a) seni sebagai penembusan (penetrasi) terhadap realisasi di samping pengalaman; (b) seni sebagai alat untuk kesenangan; (c) seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman.
Menurut Paul Edwards dalam bukunya The Encyclopedia of Philosophy, nilai dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, nilai yang digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Kedua, nilai sebagai kata benda kongkrit. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia. Lebih lanjut maksudnya bahwa nilai kongkrit adalah nilai yang melekat sendiri pada suatu benda hingga ia dapat dikatakan bernilai. Ketiga, nilai sebagai kata kerja, di mana hal tersebut tercermin dari aktifitas atau ekpresi menilai, memberi nilai dan dinilai.
Louis O. Katstoff (2000) berpendapat bahwa nilai terbagi menjadi dua. Nilai intrinsic dan nilai instrumental. Nilai instrinsik meniscayakan bahwa sebuah objek fakta telah terkandung di dalamnya secara permanen sebuah nilai. Baik nilai itu baik atau buruk, benar atau salah, bahaya atau berguna dan lainnya. Nilai instrumental adalah lebih kepada bagaimana fakta yang ada diarahkan kepada sebuah nilai. Pisau misalnya akan memiliki nilai baik atau buruk tergantung bagaimana menggunakannya.
Norma, Nilai, dan Etika Dalam Perkembangan IPTEK
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Dan merupakan kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan proporsional dan memihak pada nilai- nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral. Pernyataan di sekitar batas wewenang penjelajahan sains, kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting. Karena itu, salah satu aspek pembahasan integrasi keilmuan ialah aksiologi ilmu.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama). Dari hal tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berfikir di Eropa, pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas Nilai! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu dan teknologi tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan yaitu dalam rangka mensejahterakan kehidupan manusia. Masalah teknologi telah mengakibatkan proses dehumanisasi. Dari perkembangan ilmu dan teknologi dihadapkan dengan moral, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengatahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan; dan (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (social engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para ilmuwan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama, dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.
Permasalahan netralitas seorang ilmuwan bisa diselesaikan dengan memahami hubungan antara etika atau moral dengan ilmu itu sendiri. Etika sebagai kelompok filsafat merupakan sikap kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika sangat berkaitan dengan pelbagai masalah-masalah nilai (values) karena pokok kajian etika terletak pada ragam masalah nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”.
Etika dalam konteks ilmu adalah nilai (value). Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan dari sinilah kemudian sering menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan fatal error sehingga tuntutan etika sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi pengembangan ilmu. Dalam konteks ini, eksistensi etika dapat diwjudkan dalam visi, misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral.
Ada empat klaster domain etika yang sangat dibutuhkan dalam eksperimen dan pengembangan ilmu, yaitu berupa (1) temuan basic research; (2) rekayasa teknologi; (3) dampak sosial pengembangan teknologi; serta (4) rekayasa sosial. Dari empat klaster tersebut akan melahirkan integritas profesionalitas, tanggung jawab ilmuwan, tanggungjawab terhadap kebenaran, hak asasi manusia, hak masyarakat, dan sebagainya.
Temuan basic research; beberapa contoh yang berkaitan dengan basic research adalah penemuan DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ketika ditemukan tentang DNA unggul dan DNA cacat, dan pada saat dikembangkan pada wilayah kehidupan alam seperti DNA pohon jati unggul dipergunakan untuk memperluas dan meningkatkan reboisasi, maka hal ini tidak menemukan masalah. Demikian juga penemuan ilmu tentang kloning, ilmu tidak mengalami kendali etika ketika hanya merambah eksperimen pada hewan, semisal rekayasa domba masa depan agar dapat memberi protein hewani pada manusia yang semakin bertambah dengan cepat juga belum bermasalah. Namun demikian, ilmu tentang pengembangan DNA dan kloning kelas akan tidak mempunyai nilai etika, jika masuk domain manusia.
Temuan Rekayasa Teknologik; thalidomide, suatu temuan obat tidur yang telah diadakan uji klinis pada binatang, tetapi tidak untuk manusia. Posisi ilmu tidak mengalami masalah etik. Dalam per-kembangan selanjutnya, apabila thalidomide digunakan oleh ibu mengandung memasuki bulan kedua dan terbukti dapat mengakibatkan bentuk janin bayi menjadi tidak normal, maka uji klinis pun mesti diperketat.
Dampak Sosial Pengembangan Teknologi; ada dua dampak sosial yang kemungkinan dihadapi dalam pengembangan teknologi, individual atau sosial secara keseluruhan. Misalnya DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup maka dapat memberi dampak pada martabat manusia, khususnya nilai-nilai perkawinan yang dapat melahirkan keturunan yang diakui oleh agama. Demikian juga dengan ilmu kloning, jika hanya dengan maksud untuk meningkatkan kualitas manusia, justru akan menghancurkan martabat manusia.
Bom atom nuklir yang menjadi ancaman seluruh manusia merupakan akibat penemuan energi partikel alpha radioaktif yang dipergunakan secara destruktif yang semestinya untuk keperluan medis dan alternatif energi listrik. Sebagai contoh ketika terjadi di Nagasaki dan Hirosima Jepang yang luluh lantak akibat dibom atom oleh Amerika Serikat pada Akhir Perang Dunia II tahun 1945.
Rekayasa Sosial; salah satu dari rekayasa sosial adalah pemupukan kepercayaan terhadap pemikiran yang monolitik, seperti sistem monarkhi demi pelanggengan kekuasaan, sistem kapitalisme dan sosialisme, sistem kasta yang mentabukan perkawinan antarkasta, dan lain sebagainya.
Dari empat klaster berikut contoh-contoh yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa etika dalam pendekatan filsafat ilmu belum muncul kalau hanya pada wilayah epistemologik, namun membicarakan aksiologik keilmuan, mau tidak mau etika harus terlibat.
Etika akan membawa pada perkembangan ilmu untuk menciptakan suatu peradaban yang baik, bukan menciptakan malapetaka dan kehancuran. Misi ilmu tidak sejalan dengan yang dikatakan Bacon bahwa “knowledge is power”,31 pengetahuan sebagai kekuatan. Siapa yang ingin menguasai alam semesta maka harus menguasai ilmu. Akan tetapi, yang kurang bijaksana adalah jika manusia menguasai alam dan memperlakukannya tanpa memperhitungkan norma-norma etis dalam hubungannya dengan alam. Apa yang terjadi? Banyak sekali terjadi kerusakan lingkungan hidup yang pada gilirannya akan mengancam kelangsungan hidup manusia juga. Oleh karena hubungan manusia dan alam tidak bersifat instrinsik kosmologis, tetapi juga etis-epistemologis (Dahlan, 2008: 71-90).
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan. Masalahnya adalah sekiranya seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan maka apakah yang harus dia lakukan? Apakah dia menyernbunyikan penemuan tersebut sebab dia merasa bahwa penemuan itu lebih banyak menimbulkan kejahatan dibandingkan dengan kebaikan? Ataukah dia akan bersifat netral dan menyerahkannya kepada moral kemanusiaan untuk menentukan penggunaannya?
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Pengetahuan pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan. Masalahnya adalah sekiranya seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan maka apakah yang harus dia lakukan? Apakah dia menyernbunyikan penemuan tersebut sebab dia merasa bahwa penemuan itu lebih banyak menimbulkan kejahatan dibandingkan dengan kebaikan? Ataukah dia akan bersifat netral dan menyerahkannya kepada moral kemanusiaan untuk menentukan penggunaannya? laser memungkinkan penggunaannya sebagai terapi medis daiam berbagai penyakit. Demikian selanjutnya di mana usaha menyembunyikan kebenaran dalam proses kegiatan ilmiah merupakan kerugian bagi kemajuan ilmu pengetahuan seterusnya. Dalam penemuan ini maka ilmu pengetahuan itu bersifat netral.
Dalam aspek inilah ilmu pengetahuan diyakini terbebas dari nilai-nilai yang mengikat. Dalam aspek-aspek lainnya seperti apa yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan dan bagaimana pengetahuan itu dipergunakan mau tidak mau seorang ilmuwan terikat secara moral dalam artian mempunyai preferensi dan memilih pihak. Dalam menentukan masalah apa yang akan ditelaahnya maka seorang ilmuwan secara sadar atau tidak sudah menentukan pilihan moral.
Menurut Suriasumantri ( 2005: 237-245), tanggung jawab social ilmuwan meliputi hal-hal berikut:
1. Kepekaan/kepedulian terhadap masalah-masalah social di masyarakat.
2. Imperative, memberikan perspektif yang benar tentang sesuatu hal (untung dan ruginya, baik buruknya) sehingga penyelesaian yang obyektif dapat dimungkinkan.
3. Bertindak persuasive dan argumentative (berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya).
4. Meramalkan apa yang akan terjadi ke depan.
5. Menemukan alternative dari obyek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian.
6. Memberitahukan kekeliruan cara berpikir.
7. Menegakkan/menjunjung tinggi nilai kebenaran (universal), menganalisis materi kebenaran (kegiatan intelektual) dan prototype motorik yang baik (member contoh).
Dalam kenyataannya adalah tidaklah mudah bagi ilmuwan untuk meminggul tanggung jawab social di bahunya. Tetapi seorang ilmuwan dikaruniai kecerdasan intelektual dan memiliki nilai-nilai moral yang luhur akan dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik demi kelangsungan kehidupan manusia di dunia.
Ilmu Pendidikan Sebagai Ilmu Normatif
Ilmu pendidikan tidak terlepas dari eksistensi manusia, yang senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai yang bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat dan pandangan hidup, dan juga norma agama.
Sejak zaman Yunani Kuno, tujuan pendidikan sangat diutamakan, karena orang pada zaman itu berpandangan bahwa manusia adalah makhluk bermain (Homo ludens). Jadi yang utama adalah pendidikan jasmani, karena di dalam tubuh yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat (mensana incorpore sano).
Dapat dipahami latar belakang mengapa mereka berpandangan demikian. Hal itu disebabkan karena Yunani terdiri dari Negara yang banyak mengalami ketegangan, sehingga memerlukan kemampuan untuk mengatasi keadaan yang sulit. Sementara itu, Yunani terdiri dari polis-polis (negara kota) yang saling berperang. Untuk itu, warga kota perlu dipersiapkan supaya bertubuh sehat dan kuat. Jelaslah bahwa system nilai yang menjunjung tinggi aspek jasmani telah member corak normatif tersendiri kepada system pendidikan di Yunani Kuno.
Lain halnya dengan Eropa Barat yang memiliki pandangan bahwa manusia adalah makhluk berpikir (Homo sapiens). Akal adalah pangkal tolak utama. Orang sangat sangat menjunjung tinggi akal, baik akal teoritis maupun akal praktis. Dengan akal, manusia belajar dan menghasilkan pengetahuan. Dengan pengetahuan, manusia berbuat baik dalam pengertian sempurna. Sebagai contoh, semboyan Rene Descartes tentang “Cogito Ergo Sum”, yang artinya saya berpikir maka saya ada. Maksudnya, ketika orang itu memiliki pengetahuan karena berpikir, ia akan merasakan hasil dari buah pengetahuannya, sehingga eksistensinya diakui oleh manusia lainnya.
John Lucke, seorang ahli pendidikan, sangat mementingkan pendidikan atas dasar teori tabularasa, yaitu manusia yang bisa dibentuk dengan proses pendidikan, karena manusia seperti kertas putih yang bisa diberi warna apa saja sesuai dengan keinginan yang memberi warna. Dari hal ini, dapat dipahami bahwa nilai-nilai tertentu yang dapat dijadikan norma adalah pengetahuan yang kemudian menjadi dasar bagi pelaksanaan pendidikan.
John Dewey dengan aliran pragmatismenya menyatakan bahwa kebenaran itu terletak pada kenyataan praktis. Artinya, apa yang berguna untuk diri itu benar dan sesuai dengan praktik, itulah sebenarnya kebenaran. Pandangan ini sangat berpengaruh dalam psikologi dan menghasilkan metode-metode mendidik dengan cara drill dan latihan yang pada akhirnya menghasilkan manusia mesin dengan pendekatan respons terhadap stimulus.
Dari pandangan para ahli tersebut, jelaslah bahwa nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh seseorang atau suatu bangsa itulah yang dijadikan norma atau kriteria untuk mendidik. Dan norma ini biasanya tergambar dalam rumusan tujuan pendidikan. Dengan demikian, ilmu pendidikan diarahkan kepada perbuatan mendidik yang mempunyai tujuan, dan tujuan itu ditentukan oleh nilai yang dijunjung tinggi oleh seseorang. Sedang nilai itu sendiri merupakan ukuran yang bersifat normatif, sehingga dapat ditegaskan bahwa ilmu pendidikan adalah ilmu yang bersifat normatif.
Hal ini berarti bahwa ilmu pendidikan biologi merupakan ilmu yang bersifat normatif karena bertujuan mengajarkan tentang nilai-nilai baik yang dapat digunakan dalam kehidupan bermasyarakat yang berorientasi pada kebaikan, keindahan, dan prilaku yang luhur. Contohnya, peserta didik diajarkan untuk menghormati dan mencintai alam (membuang sampah pada tempatnya, melakukan reboisasi, menggunakan alat ramah lingkungan, tidak menebang hutan sembarangan).
Pengetahuan biologi yang telah dimiliki oleh peserta didik hendaknya mampu diterapkan pada kehidupannya sehingga peserta didik tersebut dapat menghargai/menjaga dirinya agar tetap berprilaku positif dengan menjaga alam yang memberikan oksigen, organisme yang memberikan zat makanan, menjaga air sebagai sumber kehidupannya, dan bumi sebagai tempat tinggalnya. Pada gilirannya ia menyadari bahwa ia mahluk ciptaan Tuhan yang seharusnya tunduk dan patuh pada ajaranNya sesuai dengan tuntunan agama yang dianutnya. Tentu hal ini akan menghantarkannya bahagia dunia dan akhirat, jika mampu melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganNya.
Deskripsi pendidikan berbasis nilai mencakup keseluruhan dimensi pendidikan. Tujuan pendidikan nilai yang ideal adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya. Tujuan ini diarahkan untuk mencapai manusia seutuhnya yang berimplikasi pada pendidikan nilai sebagai keseluruhan praktek pendidikan di lingkungan satuan pendidikan. Karena itu, pendidikan nilai berarti keseluruhan dimensi pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan pengembangan, baik kegiatan kurikulum, ektrakurikuler, dan seluruh kegiatan belajar mengajar yang dikatakan sebagai upaya penanaman nilai dalam pendidikan. Pendidikan nilai dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif yang terjadi dalam kehidupan masyarakat global dewasa ini. Sejalan dengan derap laju pembangunan dan laju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta arus reformasi sekarang ini, pendidikan nilai semakin dirasa penting sebagai salah satu alat pengendali bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional secara utuh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan pembahasan pada bab II adalah sebagai berikut:
1. Norma merupakan suatu aturan yang melekat pada suatu komunitas masyarakat yang dijunjung tinggi serta memiliki kadar nilai tertentu yang disebut dengan nilai normatif.
2. Macam-macam norma yang telah dikenal luas ada empat (berdasarkan kekuatan sanksinya), yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.
3. Nilai diartikan sebagai suatu ukuran tertentu yang digunakan manusia untuk menyatakan penghargaan terhadap suatu obyek, baik yang bersifat konkrit maupun abstrak yang berupa perbuatan, prilaku, ataupun benda.
4. Pada dasarnya nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.
5. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ilmuwan senantiasa memandang bahwa ilmu dikembangkan sebagai objek yang terikat oleh nilai-nilai moral, sehingga dalam pengembangan ilmu tersebut tidak merendahkan martabat manusia.
6. Ilmu pendidikan biologi merupakan ilmu yang bersifat normatif karena bertujuan mengajarkan tentang nilai-nilai baik yang dapat digunakan dalam kehidupan bermasyarakat yang berorientasi pada kebaikan, keindahan, dan prilaku yang luhur.
Saran
Adapun saran penulis adalah :
1. Perlunya menjunjung tinggi nilai secara penuh moralitas agama agar menjadi pilar-pilar yang kokoh bagi terwujudnya perikehidupan dan penegakan hukum yang benar-benar adil.
2. Hendaknya kita memposisikan hati nurani (qalbu) sebagai kata kunci untuk memahami moral religius serta memposisikan akal dengan tepat sesuai dengan penggunaannya pada batas-batas tertentu.
3. Penggunaan ilmu serta kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada azas-azas moral agar penggunaan ilmu tersebut tidak menyalahi aturan dengan melanggar norma-norma kehidupan yang telah di atur dan juga agar pemanfaat ilmu tersebut dapat berguna bagi seluruh kehidupan di muka bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, I. 1982. Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan Metode). Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP Yogyakarta.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Utama.
Dahlan, A. 2008. Ilmu, Etika dan Agama. Purwokerto: Jurnal Ibda`.
http://ekowinarto.files.wordpress.com/2009/03/bab-11.pdf (diakses pada 20 April 2011)
http://organisasi.org/pengertian-macam-jenis-norma-agama-kesusilaan-kesopanan-kebiasaan-hukum (diakses pada 20 April 2011)
http://ahmadfauzanisw.wordpress.com/2010/12/04/norma/ (diakses pada 23 April 2011)
http://defaultride.wordpress.com/2010/06/12/pendidikan-menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme/ (diakses pada 23 April 2011)
Salam, B. 1997. Etika Sosial: Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Salam, B. 1997. Logika Materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Salam, B. 2000. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Sadulloh, U. 1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek.
Suriasumantri, J. S. 2005. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Suwarno, W. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Riyanto, A.A. 2002. Peranan Etika Dalam Pergaulan. Bandung: Ma’had Al-Ashri Al Muslimun.
Wattimena, R.A.A. 2008. Filsafat Dan Sains: Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Wiyono, H., Isworo. 2007. Kewarganegaraan Untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Ganeca Exact.