(Ata Seulanga)
“IBU GURU, IBU HUSNA”
Matahari hari ini cerah, secerah hati yang setia pada jiwanya. Kakiku terus bergerak, melangkah menuju suatu tempat yang bagiku seperti sebuah bejana ilmu, airnya tiada habis terteguk layaknya waktu yang tak pernah berakhir hingga ketetapan Tuhan terjadi. Sama seperti saat itu, di mana bagiku tidak mungkin berubah menjadi suatu yang tak terukur akan kesyukuranku padaNya.
Masih melekat begitu jelas dalam ingatanku, saat di mana kumenganggapinya hanyalah sesuatu yang biasa, yang tak memiliki daya ketertarikan apapun, dan tak akan ada yang mampu mengubah keinginanku dari kehengkanganku padanya. Betapa tidak, di mataku, Biologi adalah suatu pelajaran yang memuakkan, yang hanya menatap kehidupan ini sebatas proses siklus metamorfosa yang terus berganti dan bertukar, layaknya ulat yang berubah menjadikupu-kupu, dan begitulah adanya.
Bagiku, hidup itu lebih kompleks, suatu fenomenologis kompleksitas waktu, yang tidak semuanya berujung sama, hidup itu penuh warna, hitam, putih, cerah, biru, dan sebagainya, seperti seni, tidak boleh monoton, terus mengalir layaknya imajinasiku yang terus mengarungi irama, lagu, serta bait dari para seniman pada masaku. Terus terang saja, selama aku berada di sekolah menengah pertama, tidak ada yang membuatku begitu tertarik dengan pelajaran Biologi. Bagiku ia adalah suatu pembahasan menoton, yang terkadang tak berujung, atau terkadang layaknya pita sejarah yang terus bergumul dengan teori-teoriku dari mitos Yunani. Bahkan, yang lebih menyakitkan lagi ketika pelajaran ini berkamuflase selayaknya Bahasa Inggris, di mana setiap nama atau istilah berubah dengan aturannya yang tentunya membuatku semakin muak dengan hafalan-hafalan istilah tersebut. Oh… Mengapa harus Biologi…
***
Hari berganti, seiring dengan pergantian waktu, tempatku pun berubah, hanya satu yang belum berubah, kehengkanganku akan pelajaran Biologi sepertinya masih melekat menjadi sugesti yang semakin meradang. Hingga pada waktunya, …
Bel berbunyi, semua siswa memasuki ruang kelasnya masing-masing. Begitupun dengan diriku, menempatkan posisiku pada tempat yang layak sebagai tempat siswa. Seorang wanita paruh baya memasuki kelasku, dengan perlahan dia meletakkan buku yang didominasi akan warna hijau, sesaat suasana hening, tatapan matanya dialamatkan pada wajah kami hingga akhirnya mulutnya bergerak seraya mengeluarkan kata sapaan kepada kami dan suasana pun penuh dengan suara–suara balasan dari siswa.
Sesaat kumemperhatikan dirinya, matanya bulat, alis matanya melengkung utuh, hidungnya mancung, indah adanya. Namun garis itu, garis di keningnya menyibakkan ruang waktu yang ia tempuh telah begitu jauh, melampaui batas-batas usia kami. Dengan indahnya, dia memperkenalkan dirinya sebagai guru kami, guru mata pelajaran Biologi. Sesaat diriku terhenyak dari lamunanku, ternyata ia adalah guru yang mengajarkan mata pelajaran yang amat tidak kusenangi. Namun, apa daya, tentunya suka atau tidak, tetap harus kujalani.
Dan inilah awal dari kisahku, Semuanya berawal dari dia, ya… dari dia, yang telah merengkuh hatiku dengan kesabaran dan kebijaksanaan pribadinya. Perkenalan akan mata pelajaran Biologi secara bertahap darinya telah merubah perspektifku terhadap spekulasi yang kubangun dan kuyakini selama ini.
“Bila engkau ingin mengenal Sang Pencipta, maka kenalilah ia dari dirimu, yang telah menciptakan dirimu dalam bentuk yang begitu indah, Biologi itu indah, seindah guratan lukisan para seniman, yang terkadang memiliki nilai tanpa batas, kalian hanya dituntut untuk mengenalnya dengan apa adanya dari diri kalian, karena ia juga ada dalam diri kalian. Biologi itu adalah ilmu untuk memahami kehidupan, yang dengan mengenalnya kita mampu mempertahankan yang telah ada, dan memperbaiki yang telah rusak. Yang perlu kalian lakukan untuk memahaminya ialah, berikan ia ruang dan kesempatan untuk memperkenalkan dirinya pada kalian, karena bagi ibu, “ia (Biologi) hidup, karena ilmu itu hidup”.”
Demikian petuah sang guru kepada kami, sesaat kuterjaga dan berfikir, apa salahnya bila aku sedikit memberikan ruang pada pelajaran Biologi, dengan segenap kesungguhan, paling tidak, aku berusaha dan belajar untuk menyukai pelajaran ini, dan ternyata… tidak ada yang salah dengan tindakanku yang satu ini.
Sejak saat itu, spekulasiku berubah, ternyata untuk memahami keindahan hidup, tidak hanya pemahaman seni yang dibutuhkan, namun juga pemahaman dasar akan kerangka kehidupan alam semesta, dari memahami keajaiban sel, perubahan dinamika sistem saraf, bakteri, jamur, dan sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan suatu kosmos kehidupan yang perlu dipahami demi memaknai hidup yang lebih bijak. Singkat kata, aku jatuh hati pada pelajaran Biologi, aku ingin hidup seperti apa adanya ia dalam diriku hidup.
Sejak saat itu, aku belajar dengan ibu guru Biologi tersebut, satu hal yang amat kusenangi darinya, yaitu sikap santun dan sifat bijaksananya dalam mengayomi, mengontrol kami belajar begitu berkesan, kehadirannya sebagai sosok guru tidak hanya dilakoninya di dalam kelas, namun juga dalam kehidupannya sehari-hari. Memperkenalkan sesuatu pada kami melalui keindahan objek, mulai dari memahami harumnya bunga, fungsinya, cara merawatnya, dan tembus ke dalam segmentasi mahkota bunga. Suatu sistematika penjabaran yang menarik, memulai pengenalan menumbuhkan ketertarikan terhadap suatu objek, yang tentunya disesuaikan dengan keadaan tertentu.
Waktu terus berputar dan hari pun berganti menjadi minggu, berubah menjadi bulan, dan menjelma menjadi tahun. Seiring dengan perjalanan siklus kehidupan, aku tumbuh, pemahamanku berkembang, tanpa terasa, aku telah ingin menjadi sosoknya, sosok yang mampu mengayomi siswanya dengan kebijaksanaan dan kearifan akan ilmu pengetahuan. Kini aku telah menjadi seorang guru Biologi, dan kini aku sedang melanjutkan pendidikan pasca sarjana pendidikan Biologi di UNIMED.
Bagiku, menjadi guru yang baik adalah suatu lakon yang masih dalam proses dan terus berlanjut hingga nanti tutup usiaku. Aku berharap siswa-siswaku menjadi berhasil semuanya. Menurutku, suksesnya seorang guru adalah ketika siswanya mampu memahami pelajaran yang diajarkannya dengan baik, kemudian diingatnya, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini membuat pengetahuan yang diperoleh siswa menjadi bermakna sehingga mampu meningkatkan motivasi belajar mandiri yang secara sadar atau tidak disadarinya menghantarkan siswa untuk menjadi sukses seperti yang diharapkannya. Jadi, kesuksesan itu tidak hanya diukur dari nilai yang diperoleh siswa ketika ujian, akan tetapi melingkupi aspek prilaku atau akhlak siswa dan visi masa depan yang mampu diraihnya.
***
Terimakasih atas jasa-jasa yang telah engkau curahkan kepadaku, duhai ibu guru, Ibu “Cut Nurul Husna”.J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Anda berkomentar dengan bahasa yang sopan.